Rabu, 25 September 2013

Ketakutan

Saya tidak mau, begitupun kamu. Kita sama-sama takut kehilangan (mungkin). Tapi kita pun takut jika kamu berubah, begitupun saya.
Kita takut kita akan dipermainkan (lagi) oleh namanya kehidupan.
Kehidupan yang memaksa kita untuk berpura-pura sekadar menyunggingkan senyum sementara hati mengutuknya untuk benci.
Kehidupan dimana kita sulit membedakan mana itu topeng mana itu wajah asli.

Beginilah wajah asliku, katamu angkuh. Begitu banyak bopeng dan luka di sana-sini. Aku pasti sangat menyeramkan, mungkin lebih menyeramkan dari monster yang pernah kau lihat di televisi waktu kau kecil. Dan monster akan selalu kalah.

Rupanya kau lupa monster berpostur raksasa, berwarna hijau dengan rahang yang tegas. Ada perempuan yang berada di sampingnya ketika semua petugas keamanan kota, pesawat tempur, dan tank menghujani badan yang nampak kuat itu dengan timah panas. Kau perusak. Kau penghancur. Kau monster. Kau menakutkan. Kau pun jatuh tersungkur. Saya melihat ada perasaan takut di mata perempuan itu, tetapi dia dengan berani memberikan sebuah pelukan hangat pada penampakan hijau itu meskipun tangannya tak cukup mampu untuk mendekap semuanya.

Tapi aku bisa sewaktu-waktu mencekikmu bahkan disaat kau tertidur lelap di atas lenganku, katamu lagi masih tak percaya.

Lalu kenapa kau tidak menatap mataku yang terpejam. Mengingat semua hal yang telah kita lakukan dan perjuangkan. Kemudian mengecup mesra keningku dan membelai rambutku dengan lembut. Aku tak akan meninggalkanmu.

Manusia itu pun tidak pernah kuasa ketika dirinya berubah menjadi monster hijau yang menakutkan. Andaikan dulu ayahnya tidak salah menyuntikkan ramuan maka dia tidak jadi seperti ini. Tapi apa gunanya dia menyesali apa yang telah terjadi atau mengutuk semua orang yang membuat dia jadi seperti ini. Apakah itu bisa mengubah keadaan? Saya rasa tidak.

Tapi, bagaimana jika...

Ah, mengapa tercipta ketakutan jika keberanian itu ada, kataku kesal.


25-09-2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar