Minggu, 29 September 2013

Aku masih ingat musim dingin
yang aku habiskan di sana..
Sangat dingin..
Yang aku sangat rindukan di dalam selimut, menggigil kedinginan..
adalah seseorang yang bisa berbicara denganku..
Tidak peduli apapun yang terjadi setelah itu..
Aku hanya butuh seseorang yang bisa bicara denganku..
Seseorang yang bisa mengatakan siapa diriku..

Rabu, 25 September 2013

Semua stres!

Mood saya hari ini sebenarnya sedang tidak bagus. Seandainya saya ngelab sendiri mungkin saya akan lebih memilih tidak beranjak dari benda yang terbuat oleh sekumpulan kapuk kemudian dijahit rapi ini. 

Isolasi RNA kami tidak pernah berhasil. Apa yang salah? Higiene, pipetting, buffer, kami perhatikan betul. Lalu apa yang salah? Dan sampai pada hari ini, saya merasa akan membuat cell line dari kidney hamster yang akan saya isolasi RNAnya ngambek. Jadi, sebelum mereka ngambek, biar teman se-lab saya saja yang mengisolasinya. Saya hanya menelungkupkan wajah ke meja berwarna hitam yang terletak di sebelah barat laboratorium dengan telinga tersumpal headset. Sambil sesekali melihat ke arah teman lab saya yang sedang asyik masyuk memindahkan solution dari microtube satu ke microtube lainnya. Sudah pasti saya merasa bersalah. 

Beberapa jam kemudian, teman saya sudah membawa bungkusan plastik bersama microtube yang berisi RNA dan siap dicek di laboratorium. Saya dan teman saya masuk menyerahkan sampel RNA ke laboratorium biologi molekuler FK UGM untuk dilihat nilai absorbansinya, saya masih menganggap biasa saja. Setelah saya menyerahkan sampel, saya bertanya kapan sampel bisa diambil. Besok saja mbak. Jam berapa ya mbak kira-kira? tanya saya. Besok mbak datang aja, terus langsung saya cek. Ooh iya.

Keluar dari ruangan itu, saya menggerutu kepada teman saya. Lah sih, kenapa gak sekarang aja diceknya terus kita tungguin. Kenapa harus nunggu besok kalo masih harus sama-sama ditungguin? Ah stres! 

Teman saya hanya tertawa. Saya pencet tombol lift. Betapa terkejutnya pintu yang terbuka malah lift yang tidak kami pencet tombol gambar panah ke bawah. Lah ma -panggilan dari Rohma- , lift juga ikutan stres!

Teman saya itu tertawa lagi.

Kenapa hari ini berjalan begitu stresnya?


*masih 25-09-2013

Ketakutan

Saya tidak mau, begitupun kamu. Kita sama-sama takut kehilangan (mungkin). Tapi kita pun takut jika kamu berubah, begitupun saya.
Kita takut kita akan dipermainkan (lagi) oleh namanya kehidupan.
Kehidupan yang memaksa kita untuk berpura-pura sekadar menyunggingkan senyum sementara hati mengutuknya untuk benci.
Kehidupan dimana kita sulit membedakan mana itu topeng mana itu wajah asli.

Beginilah wajah asliku, katamu angkuh. Begitu banyak bopeng dan luka di sana-sini. Aku pasti sangat menyeramkan, mungkin lebih menyeramkan dari monster yang pernah kau lihat di televisi waktu kau kecil. Dan monster akan selalu kalah.

Rupanya kau lupa monster berpostur raksasa, berwarna hijau dengan rahang yang tegas. Ada perempuan yang berada di sampingnya ketika semua petugas keamanan kota, pesawat tempur, dan tank menghujani badan yang nampak kuat itu dengan timah panas. Kau perusak. Kau penghancur. Kau monster. Kau menakutkan. Kau pun jatuh tersungkur. Saya melihat ada perasaan takut di mata perempuan itu, tetapi dia dengan berani memberikan sebuah pelukan hangat pada penampakan hijau itu meskipun tangannya tak cukup mampu untuk mendekap semuanya.

Tapi aku bisa sewaktu-waktu mencekikmu bahkan disaat kau tertidur lelap di atas lenganku, katamu lagi masih tak percaya.

Lalu kenapa kau tidak menatap mataku yang terpejam. Mengingat semua hal yang telah kita lakukan dan perjuangkan. Kemudian mengecup mesra keningku dan membelai rambutku dengan lembut. Aku tak akan meninggalkanmu.

Manusia itu pun tidak pernah kuasa ketika dirinya berubah menjadi monster hijau yang menakutkan. Andaikan dulu ayahnya tidak salah menyuntikkan ramuan maka dia tidak jadi seperti ini. Tapi apa gunanya dia menyesali apa yang telah terjadi atau mengutuk semua orang yang membuat dia jadi seperti ini. Apakah itu bisa mengubah keadaan? Saya rasa tidak.

Tapi, bagaimana jika...

Ah, mengapa tercipta ketakutan jika keberanian itu ada, kataku kesal.


25-09-2013

Selasa, 24 September 2013

Kenapa saya mencintai ungu?

Saya mencintai ungu. Saya sendiri tidak begitu ingat kenapa saya sangat mencintai warna ini. Yang saya ingat, saya langsung jatuh hati begitu melihat warna ini seperti remaja gadis yang baru beranjak dewasa dan terinfeksi virus merah jambu. Banyak orang bilang ungu adalah warna janda, tapi menurut saya dia elegan. Saya tetap mencintainya meskipun dia sering nampak mengecewakan. Dia menghilang dan sulit ditemukan ketika saya membutuhkannya. “Ungu itu warnanya jelek” kata ibuku ketika kami memutuskan warna cat rumah kami yang baru. Saya ngeyel waktu itu. Tapi sepertinya hanya ibu yang memiliki hak prerogatif untuk masalah tata ruang rumah. Saya mengalah. Hal yang mengejutkan setelah saya pulang ketika liburan kuliah tiba, rumah kami bercat ungu muda. Rupanya ibu sudah mulai menyukai ungu. Atau hanya menyukai warna kesukaan anaknya? Atau hanya untuk menyenangkan hati anaknya? Ah! Saya rasa, saya bukan anak kecil yang harus selalu dituruti keinginannya. Saya tersenyum di dalam hati. Pun ketika hari dimana saya melakukan prosesi wisuda gelar sarjana, dress code kami ungu!

Saya merasakan cinta. Memang kami tidak terbiasa mengucapkan Ibu sayang kamu Nak atau Bapak kangen sama kamu, kamu kapan pulang?  ­- tetapi ada yang lebih penting dari sekedar ucapan.  

Saya pernah ke toko buku dan tidak sengaja melihat buku dari pasangan teromantis di Indonesia, Habibie-Ainun. Di belakang cover buku yang memiliki tiga ratusan halaman itu, ibu Ainun menulis, kurang lebih seperti ini: Kami menghayati pikiran kami masing-masing.... Dia sibuk dengan kertas-kertasnya, saya menjahit. Tapi mereka tau bahwa mereka saling mencintai. Mungkin itu yang terjadi pada saya dengan warna ungu ini. Dalam diam. Atau mungkin ungu sendiri tidak mengerti bahwa saya sangat mencintainya. Saya mencari dia tapi terkadang dia sulit ditemukan. Sama seperti potongan puisi Pak Habibie kepada Ibu Ainun (Ah! Saya memang mengagumi sepasang manusia ini):

Mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.

Ya. Mungkin itulah bagaimana saya mencintai ungu. Ungu yang mengajarkan saya mencintai dia, bahkan meskipun terlalu banyak warna yang menarik atau beberapa kotoran yang menempel pada ungu muda saya.



24 September 2013
*beberapa jam sebelum tidur sambil melihat

barang-barang berwarna ungu disekitar

Senin, 23 September 2013

#reblog: Kita Pernah

Kita pernah dibuat begitu tak berdaya
oleh perpisahan
yang tak kita inginkan
Kita pernah tak percaya kepada takdir bernama masa depan 
karena masa lalu telah mengubur harapan dalam-dalam
Kita juga pernah menutup hati rapat-rapat
karena sembuh dari luka tidaklah mudah
Tapi ternyata semesta berkehendak lain
memaksa kita untuk belajar berdamai
dengan luka
dan melangkah
Lalu kita belajar (lagi) menyerahkan hati
yang pernah sama-sama menganga
oleh kehilangan
dan memutuskan tak akan menyerah
dengan mudah
Karena terluka dalam perjalanan hati adalah keniscayaan 


zahrahfatimah.blogspot.com

Baik-baik Saja

"Aku pernah merasa menjadi manusia paling dikhianati di dunia atau paling bersalah, atau paling bermasalah, atau paling tak beruntung hidupnya. Aku pernah berjalan sendirian di pinggiran jalanan kota, pada senja penghabisan, sementara bus dan mobil-mobil berjalan seperti manusia-manusia lainnya yang tak perhatian. Aku pernah merasa tak punya teman untuk sekedar mendengarkan apa yang kurasakan." Katamu, pilu

Ada perasaan sedih yang tak bisa kujelaskan, seperti kabel-kabel listrik yang menggantung di langit senja sebuah kota, atau spanduk dan papan-papan reklame: Bagaimana caranya mengurai kompleksitas menjadi sesuatu yang sederhana dan nyata? Kemana sesungguhnya manusia harus berjalan - untuk menemukan kebahagiaan? Sementara mal dan pusat-pusat perbelanjaan, tempat hiburan, juga restoran, yang selalu tampak ramah mengajak kita berkunjung ke sana: Tak pernah benar-benar jujur menerima diri kita apa adanya.

"Kenapa aku menangis? Kenapa kamu menangis? Sebagian dari kita percaya bahwa kita bisa membuat perbedaan, kita bisa mengubah sesuatu, hingga saatnya kita benar-benar terbangun, dan menyadari bahwa kita telah gagal." Katamu, sedih.

Ah, mengapa kita selalu membuat diri kita merasa bersalah? Mengapa kita cenderung memilih menjadi pemurung? Mengapa kita tak pernah mengucapkan terima kasih pada diri kita sendiri - atas hal-hal baik, juga hal-hal buruk, yang sudah kita lakukan sejauh ini? Terima kasih telah selalu bertahan, dan telah selalu memutuskan untuk kembali berjalan.. Yakinlah, kita telah dan akan selalu baik-baik saja.

"Terima kasih," katamu tiba-tiba, pada diri sendiri, "Untuk hal-hal yang terkatakan dan tak terkatakan."



*Fahd Djibran

Senin, 09 September 2013

Ibu dan Kecerdasan Anak

Berawal dari obrolan santai di tempat makan salah satu mall di Jogjakarta, kami bertiga antusias menceritakan tentang wanita. Setidaknya dari sekian banyak obrolan kami yang ngalor-ngidul, ada satu obrolan yang ‘berbobot’. Kami pun asyik membicarakan tentang ibu dan kecerdasan anak.
Barangkali kita terlampau sering mendengarkan sebuah nasihat yang diambil dari sebuah hadist:

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, belia berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)




Mengapa seperti demikian? Saya rasa Allah telah mengatur semuanya dengan begitu sempurna. Dalam hal ini, peranan seorang ibu sangat besar. Beliau yang telah mengandung kita selama 9 bulan, melahirkan, menyusui, dan merawat. Akan tetapi ada hal yang mungkin tidak diketahui banyak orang bahwa peranan unit terkecil dalam tubuh pun ternyata didapatkan dari ibu dan kecerdasan seorang anak pun diturunkan dari ibunya. Mungkin itulah mengapa Rasulullah menyuruh kita untuk meminta maaf kepada ibu sebanyak tiga kali, kemudian ayah.

Berbicara lebih jauh lagi, saya rasa kita tidak asing dengan bagaimana terciptanya suatu makhluk hidup yang pernah kita peroleh di sekolah dulu. Sebuah janin yang dikandung oleh seorang ibu adalah hasil peleburan dari sperma dan ovum (sel telur). Gen penyandi kecerdasan dan IQ ternyata ada di dalam mitokondria sel telur ibu. Sementara mitokondria dari ayah ada pada ekor dan ketika sperma masuk ke dalam ovum, ekor sperma tidak ikut masuk ke dalam sel telur (lebih jelasnya baca buku tentang reproduksi).

Dengan kata lain, penyumbang sebagian besar gen anak adalah dari ibu. Tapi apakah berhenti disitu? Apakah ibu dengan IQ rendah atau dapat dibilang tidak cerdas akan melahirkan anak yang sama? Ataukah ibu dengan IQ di atas rata-rata selalu melahirkan anak dengan IQ yang di atas rata-rata pula? Bagaimana dengan seseorang yang ber-IQ rendah dan tidak berpendidikan tetapi mampu menemukan sebuah karya atau inovasi terbaru?

Saya jadi teringat adik kelas saya sewaktu SMP, dia hanya anak dari seorang pekerja bengkel dan ibu rumah tangga tetapi yang mencengangkan adalah dia mampu menjuarai olimpiade matematika tingkat internasional. Hal yang berlawanan datang dari teman sekelas saya sewaktu SMA dimana rata-rata IQ dia di atas rata-rata. Tidak heran jika semua anggota keluarganya menjadi dokter, mulai dari ayah, ibu, kakak, bahkan teman saya pun juga saat ini menjadi dokter. Perlu diketahui teman saya masuk dokter dengan jalur tes bukan jalur mandiri.

Saya memutar otak, mencoba mengingat kembali mata kuliah semester satu saya yaitu genetika molekuler. Dijelaskan bahwa fenotip suatu makhluk hidup ditentukan oleh gen dan lingkungan. Seorang ahli genetika pemenang Max Planck Research Award (1990) dan Japan Academy Prize (1996), Kazuo Murakami, dalam bukunya yang berjudul The Divine Message of The DNA menyatakan bahwa ada tiga faktor yang terlibat dalam aktivasi gen: gen itu sendiri, lingkungan, dan pikiran. Menurut beliau, memang benar bahwa kecerdasan dan kemampuan atletik berkaitan dengan gen. Namun, hal ini tidak berarti bahwa orang tersebut sama sekali tidak memiliki kemampuan tersebut. Kemampuan tersebut ada tetapi belum dinyalakan.

Seorang teman pernah mengatakan, bahwa ada tetangga yang memiliki anak dengan kecerdasan di bawah rata-rata. Setelah ditelusuri ternyata ibu sang anak ini melahirkan anaknya di usia yang sangat tua. Dari Murakami, bahwa seorang pengarang Jepang ternama Natsume Soseki juga dilahirkan ketika orang tuanya lanjut usia sehingga ia dipanggil “anak memalukan”. Soseki tidak cacat, ia malah menciptakan suatu karya sastra yang luar biasa. Murakami berpendapat bahwa siapa pun dapat membangun bakat-bakat luar biasa yang terkungkung secara dorman di dalam. Yang harus mereka lakukan adalah belajar untuk mengaktifkan gen mereka.

***

Ibu memang memiliki peran yang sangat besar dalam menyumbangkan gen ke anaknya. Memang benar adanya bahwa kecerdasan seorang anak diturunkan dari gen ibunya. Namun, ada hal yang tidak boleh kita lupakan yaitu faktor eksternal. Faktor eksternal ini meliputi nutrisi dan lingkungan.
Seorang anak yang lahir dari ibu yang cerdas, nutrisi yang bagus, lingkungan dan pendidikan yang mendukung, (Insya Allah) akan menjadi anak yang cerdas juga.


“Entah akan menjadi berkarir atau menjadi ibu rumah tangga, seorang wanita wajib berpendidikan tinggi karena ia akan menjadi ibu. Ibu-ibu cerdas akan menghasilkan anak-anak cerdas” (Dian Sastrowardoyo)


Yogyakarta, 08 September 2013 -22.01-
*sambil berdoa agar memiliki anak yang cerdas suatu saat nanti

hahahahaha

Selasa, 03 September 2013

Fenomena Sosial Media


Setelah kejadian hilangnya ATM saya dan sang penemu menghubungi saya lewat twitter, saya jadi ingin menulis tentang sosial media.

Siapa yang tidak tahu dengan kepopuleran sosial media. Di jaman seperti ini, yang tidak tau sosial media pasti dibilang kudet –kurang apdet-. Banyak sekali macam-macam sosial media, ada facebook, twitter, path, instagram, foursquare yang menurut saya kesemuanya memiliki tujuan yang sama yaitu update. Entah itu update keadaan kamu, kamu lagi check in dimana, foto-foto narsis kamu. Ya emang begitu tujuannya. Saya tidak menjudge seseorang sering update itu lebay, alay, atau kurang diberi perhatian, tidak! Sedikitpun tidak! Karena mungkin saya juga seperti itu. Hehehe..

Mari kita berbicara dua sosial media yang menurut saya pengikutnya paling banyak, facebook dan twitter.

Singkat cerita tentang asal mula facebook dan twitter, facebook diluncurkan pertama kali sekitar bulan Februari 2004 oleh mahasiswa Harvard University, Mark Zuckerberg bersama teman sekamarnya yang juga seorang mahasiswa. Beberapa tahun kemudian facebook yang biasa disingkat ‘FB’ sangat ‘laris manis’, hampir 600 juta pengikut pada tahun 2011. Sementara twitter, didirikan pada bulan Maret 2006 oleh Jack Dorsey, Biz Stone, dan Evan Williams. Dan baru diluncurkan pada bulan Juli 2006. Twitter juga merupakan media sosial yang sangat populer di kalangan anak muda sekarang. Tidak hanya itu, bahkan presiden kita pun juga punya twitter lho! Hihihi..
------

Kamu bisa melakukan apapun yang kamu suka di sosial media, mau bikin status apapun boleh, mau curhat kalo tugasnya lagi seabreg sampai gak bisa tidur, mau galau karena ditinggal pacar, nulis kalo kegiatan hari ini dari A sampai Z kemudian capek lalu pulang ke kos lantas tidur, mau nulis lagi masakin suami. Terserah mah itu. Namanya juga lagi update. Hehehe..

Atau kamu suka upload foto-foto kamu dari berbagai segi mau dari atas, bawah, samping, depan belakang, mau mulutnya dimanyun-manyunin, di (sok) imut-in. Atau mau foto sekarang pake model hijab begini, besoknya begitu.

Palingan kalo yang eneg liat status-status kamu di timeline, cuma dilewatin doank. Itulah fungsinya scroll up and down. Atau paling parah kamu diunfriend/ block. Atau juga yang hobi ngeggosip langsungan ngomongin km  “eh kenapa si anu. Pasti dianuin sama anu.” Yaahh, begitulah kehidupan

Dan dari dunia per-twitter-an, ada yang namanya kultwit, itu semacam ngasih perkuliahan di twitter dengan membahas suatu topik. Ceramah agama juga bisa pake twitter. Ah, semuanya bisa dilakukan dengan hanya twitter. Mungkin suatu saat nanti kuliah dengan tatap muka tidak akan diadakan, cukup menggunakan kultwit. Tinggal pantengin timeline. Kuliah beres. Dan siapa tau pas kita mantengin timeline, mantan kita ngetwit galau terus kita ikutan galau terus akhirnya balikan. *uwuwuwuwuw* *nah lhoo!* :D

Dan ada juga yang memanfaatkan sosial media sebagai promosi. Bisa kita lihat dari banyaknya online shop dan promosi-promosi lainnya. Mungkin karena mengingat manusia mana yang tidak membuka sosial media? Itu sih sah-sah saja.

Tapi ada juga yang tertimpa masalah karena sosial media. Sudah sering kita lihat kasusnya di televisi. Mulai dari kasus penculikan, (yang katanya) pencemaran nama baik sebuah rumah sakit dan masih banyak lagi. Bahkan ada juga pasangan yang bertengkar karena twitter atau facebook *glek*

--------

Bagi saya, yang terpenting adalah memanfaatkan sebaik-baiknya sosial media yang ada namun tetap berhati-hati dengan apa yang kita tulis.


"Tidak semua yang saya tulis adalah saya. Tidak semua yang kamu baca adalah kamu."
-dwitasari-



Yogyakarta, 03 September 2013
*disela-sela searching jurnal