Jumat, 04 Oktober 2013

Rindu di Empat Oktober


04 Oktober 2013 pukul 16.00

“Aaaarrgghhh!”

Rindu masih saja duduk di meja kerja sambil mengacak-acak rambutnya yang hitam legam sebahu itu. Sejurus kemudian ia membenamkan wajahnya ke dalam kertas-kertas yang sedang ia kerjakan, tak peduli mereka akan kusut.

Rindu adalah wanita mandiri berkepala tiga. Ia baru saja menyelesaikan gelar master psikologi di sebuah universitas ternama di Surabaya beberapa tahun yang lalu. Sebenarnya ia ditawari untuk menjadi salah satu staf pengajar di universitas tersebut. Namun, ia lebih memilih tinggal di panti asuhan yang berada di luar pulau asal tempat tinggalnya, di sana ia merasa tenang. Ya. Ia sangat menyukai anak-anak. Ia juga suka dunia tulis-menulis. Maka ia putuskan untuk menjadi seorang penulis lepas dan editor pada sebuah majalah. Banyak karya-karyanya yang sudah dibukukan. Sangat berbanding terbalik dengan kehidupan cintanya yang bisa dibilang semrawut. Harusnya diumur yang sudah terbilang matang ini, ia sudah menikah.

Aku tidak pernah berhenti bertanya kepada Bunda, apakah yang harus lebih dipertimbangkan ketika kita memutuskan untuk menikah –logika atau perasaan?- tapi seperti biasanya, Bunda selalu saja sulit menjawab. Apakah pertanyaan ini memang terlalu sulit untuk dijawab? Bunda pernah menikah dan bahagia sebelum akhirnya maut membawa suaminya meninggalkan beliau terlebih dahulu. Mengapa pertanyaan seperti ini sangat sulit untuk Bunda, terutama untukku.

“Rindu!” panggilan Bunda seketika membuyarkan lamunan Rindu. Pintu berderit dan tampak senyum Bunda mengambang di sana.

“Pria mana lagi yang mau Bunda kenalkan ke Rindu?” Ia tersenyum kecut.

“Apakah wajahku tidak menarik sampai urusan jodoh pun Bunda yang sibuk mencarikannya?” lanjutnya.

“Ini yang terakhir.” Bunda tersenyum lagi. Rasanya tidak sampai hati kalau harus menolak permintaan Bunda.

“Cepat siap-siap. Cuci mukamu dan rapikan rambutmu. Kamu mirip orang gila dengan tampilan kusut seperti ini." Kata Bunda sambil  memegang pipi Rindu.

“Oke. Ini yang terakhir ya Bunda.” Kata Rindu sambil melenggang pergi mendahului Bunda. Tiba-tiba ia berbalik badan.

“Apakah aku begitu menyedihkan?” katanya memelas. Bunda hanya tertawa renyah. Serenyah krupuk.

Apakah aku begitu menyedihkan? Apa yang salah?  -katanya di depan cermin wastafel kamar mandi.

Wajah Rindu terbilang jauh dari umurnya, ia masih terlihat sangat muda. Rambutnya ikal. Ia selalu menguncir rambutnya seperti kuncir kuda. Senyumnya manis dengan kedua lesung pipi yang menghiasi wajahnya. Ia selalu tampak santai dan ceria. Pembawaannya menarik. Memang tidak sedikit pria yang jatuh hati kepadanya, tetapi tidak ada satupun yang membuat hati Rindu bergetar.

Bunda selalu kesal jika Rindu sering acuh dengan beberapa pria yang datang ke panti asuhan. Alasannya macam-macam. Tapi seringnya –nggak cocok ah Bunda, nggak tau kenapa. Tidak berhenti disitu, Bunda semakin aktif mencarikan Rindu jodoh. Ibu-ibu donatur panti ditanya apakah mereka punya putra yang masih single. Pegawai pemerintahan sampai pengusaha pernah Bunda kenalkan kepada Rindu.

Terkadang aku berpikir, bahwa pergaulan Bunda lebih luas daripada aku.

Beberapa menit kemudian, Rindu sudah rapi dengan setelan rok motif bunga selutut dan blouse berbahan chiffon berwarna pink salem. Tidak seperti biasa, rambutnya diurai dan dijepit pada sisi kanan dengan jepit warna hitam. Sungguh pemandangan yang menyegarkan. Rindu bergegas ke ruang tamu. Sudah ada Bunda dan pria yang akan ditemuinya menunggu di sana.

“Rindu, ini Nak Bara.”

Rindu hanya terpekur melihat sesosok pria yang berdiri di depannya.

Aku masih ingat tatapan mata itu. Beberapa tahun yang lalu, mata kami saling bertemu dengan malu-malu. Dia masih sama. Dia tidak berubah sedikit pun. Rahangnya tegas. Badannya kekar. Rambut tipis di dagunya terlihat nyata. Aku pernah berkata manja– jangan kamu cukur yang ada di dagumu, aku suka. Kamu yang membuat hatiku bergetar beberapa tahun yang lalu, saat ini pun begitu.

-cerpen ini kupersembahkan buat kamu untuk mengenang setahun lalu kita bertemu-


*Mungkin dilanjutin lagi ceritanya, kalo gak males. Hehehe...




Tidak ada komentar:

Posting Komentar